Hari Bhayangkara, Media Lokal Hanya Jadi Pelengkap Upacara? Kritik Pedas ke Polres Magetan
MAGETAN –Suarajatim.net Peringatan Hari Bhayangkara ke-79 pada 1 Juli 2025, yang digelar meriah oleh Polres Magetan di Alun-Alun Kota, menyisakan tanda tanya besar di kalangan insan pers lokal: Apakah media lokal hanya hadir, bukan diberi peran?
Dalam perayaan tersebut, Polres Magetan memberi apresiasi kepada tiga "media partner terbaik". Namun yang menjadi sorotan—dua di antaranya adalah media nasional, dan satu lagi merupakan akun media sosial, bukan media massa resmi. Hal ini langsung memicu perbincangan tajam di kalangan jurnalis lokal, terutama di grup WhatsApp komunitas wartawan Magetan.
“Media partner terbaik? Lah, kita ini apa? Penonton?” celetuk seorang jurnalis perempuan di grup tersebut.
Kegeraman tidak berhenti di ruang digital. Obrolan penuh kekecewaan juga bergulir di meja-meja warung kopi dan diskusi kecil antarpewarta. Ada kesan kuat bahwa keberadaan wartawan lokal hanya dianggap formalitas.
Seorang wartawan senior bahkan mengungkap pengalamannya saat peliputan di wilayah Parang. Kapolres, katanya, hanya menyampaikan ucapan terima kasih kepada akun media sosial. Media massa seolah tak dianggap.“Kalau berita eksklusif saja disalurkan ke medsos lebih dulu, buat apa kami capek-capek liputan?” ujar jurnalis televisi yang ikut bersuara.
Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Magetan, Rendra Sunarjono, ikut bersikap. Ia menilai pendekatan komunikasi antara Polres Magetan di bawah kepemimpinan AKBP Raden Erik Bangun Prakasa terlalu condong ke media sosial. Jauh berbeda dengan era kepemimpinan sebelumnya.
“Kapolres sebelumnya (Satria) baru beberapa hari menjabat langsung mengundang asosiasi media. Yang sekarang? Terlalu intim dengan medsos,” sindir Rendra.
Rendra juga menyebut satu-satunya momen kebersamaan dengan media massa terjadi dalam acara “Mancing Bersama”, itupun digabung dengan influencer medsos.
Ketua Asosiasi Perusahaan Media Magetan (APMM), Fariansyah, menyampaikan kritik lebih fundamental. Ia menyayangkan euforia berlebihan terhadap media sosial, yang menurutnya bisa menyesatkan arah komunikasi publik jika mengabaikan peran media profesional.
“Media sosial hanya tempat cerita dibagi, tapi media massa adalah tempat cerita diuji. Kita bicara soal struktur, kode etik, dan tanggung jawab publik,” tegasnya.
Ia mengingatkan pentingnya media dalam skema pentahelix pembangunan daerah—di mana media massa punya posisi setara dengan pemerintah, akademisi, dunia usaha, dan komunitas.“Kalau media lokal dipinggirkan, yang dirusak bukan cuma relasi institusional, tapi ekosistem pembangunan daerah,” pungkas Fariansyah.
Peringatan Hari Bhayangkara seharusnya jadi momen memperkuat sinergi antara kepolisian dan media. Namun di Magetan, momen ini justru membuka borok relasi yang selama ini disimpan rapat oleh jurnalis lokal—merasa hadir, tapi tak dihargai.