Penjualan Aset KUD Makmur Lembeyan Diduga Langgar UU Perkoperasian, Harga Jual Jauh di Bawah Pasar





MAGETAN – Suarajatim.net Penjualan aset milik Koperasi Unit Desa (KUD) Makmur, Kecamatan Lembeyan, Kabupaten Magetan, di empat desa memicu sorotan publik. Penjualan tersebut diduga menyalahi prosedur sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) koperasi serta Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.

Empat aset berupa tanah dan bangunan milik koperasi yang tersebar di Desa Krowe, Kediren, Dukuh, dan Kedungpanji, diketahui telah dijual hanya berdasarkan keputusan perwakilan anggota, bukan melalui mekanisme Rapat Anggota seperti yang diwajibkan dalam Pasal 22 dan Pasal 26 UU No. 25 Tahun 1992. Hal ini memunculkan dugaan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan partisipasi dalam koperasi.

Contohnya, aset di Desa Krowe berupa tanah hanya dihargai Rp144 juta, sementara bangunan gudang senilai Rp25 juta. Di Desa Kedungpanji, sebuah gudang bahkan dijual hanya seharga Rp16.250.000. Nilai tersebut dinilai tidak wajar jika dibandingkan dengan harga pasar saat ini.

Bendahara KUD Makmur, Icuk, menyatakan bahwa penjualan sudah sesuai AD/ART dan bertujuan menyehatkan kondisi keuangan koperasi. Sementara itu, Ketua KUD Kariman memberikan alasan berbeda, yaitu untuk mencicil utang dan menambah modal koperasi dalam menjalankan usaha simpan pinjam. Namun, pernyataan yang tidak sinkron antara pengurus, bendahara, dan pengawas koperasi justru memperkuat dugaan adanya kejanggalan.

Icuk mengklaim bahwa harga tanah meningkat sejak 1998, tetapi pengawas pada tahun 2021 menyatakan bahwa penjualan dilakukan karena harga tanah saat itu dianggap masih rendah. Perbedaan informasi ini semakin memperkuat kecurigaan publik atas adanya ketidaktransparanan dalam pengelolaan aset koperasi.

Perlu diketahui, pada tahun 1983 KUD Makmur Lembeyan pernah menerima pinjaman berupa tanah dan gedung dari pemerintah melalui program tanggung renteng. Dengan latar belakang aset yang cukup kuat, publik mempertanyakan bagaimana koperasi tersebut kini mengalami kesulitan finansial hingga harus menjual aset-aset pentingnya.

Jika benar penjualan tidak dilakukan melalui Rapat Anggota sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 26 dan 27 UU No. 25 Tahun 1992, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum dan patut ditindaklanjuti oleh Dinas Koperasi maupun aparat penegak hukum.

Kasus ini menjadi pengingat pentingnya pengawasan ketat terhadap badan usaha koperasi, agar tetap menjunjung asas transparansi, akuntabilitas, partisipasi anggota, dan kepatuhan terhadap hukum yang berlaku.